Pertama-tama ngucapin selamat malam dulu buat Yogya yang beberapa hari ini panas nya cukup membuat mahasiswa penghuni kos menjadi betah tinggal di perpustakaan. Selamat juga buat kawan saya yang beru melaunching his new blog tadi sore di perpustakaan.Semoga blognya diisi, jangan dibiarkan kosong seperti hati pemiliknya yang kosong.              
Kisah kali ini diambil dari kejadian yang baru saja terjadi, kira-kira 2 jam yang lalu. Saat itu, saya sedang makan di lesehan khas Jogja di Malioboro bersama seorang kawan. Kawan ini saya kenal di pelatihan BISMA dahulu dan merupakan mahasiswa di ITB. Kawan ini berkunjung ke Jogja dalam rangka kompetisi yang diadakan oleh ME, IKAMMA FEB UGM. Sebagai kawan yang baik dan menganut paham modal pergaulan, saya ajaklah kawan tersebut untuk sekadar berkeliling Jogja, khususnya Malioboro.  Setelah berkeliling sejenak dan merasa sedikit lapar. Kami pun singgah di sebuat warung makan lesehan yang berlaskan tikar di Timur Jalan Malioboro. Proses pemilihan tempat makan ini bukanlah hal yang mudah, sangat sulit karena menyangkut banyak pertimbangan khususnya yang berhubungan dengan kantong mahasiswa perantau.
Awal mulanya adalah ketika saya melihat salah seorang pedagang warung lesehan ini mengikat tali tenda ke pagar kantor pemerintahan di sekitar Jogja. Terlihat juga seorang satpam hitam-hitam didekatnya. Menit berselang, entah kenapa mereka tiba-tiba saling beradu mulut disertai dengan adu jotos bak atlet tarung drajat. Kejadian tetap berlangsung walaupun suasana warung lesehan ini cukup ramai.
                Yang saya sesalkan adalah mengapa kejadian ini terjadi di depan para wisatawan yang berada di Malioboro. Dan, disitu ada beberapa anak kecil yang menyaksikan kejadian yang tidak mendidik tersebut. Takutnya, akan berdampak buruk bagi mereka. Selain itu saya juga melihat ada beberapa keluarga wisatawan yang kebetulan makan, heran dan bingung melihat kejadian tersebut. Dari penampilannya sih, keluarga tersebut merupakan wisatawan yang sedang berkunjung menikmati Jogja. Tentu kejadian ini akan memberikan citra negatif kepada mereka. Bila mereka telah berulang kali ke Jogja dan melihat peristiwa tersebut mungkin mereka menganggap hal tersebut biasa karena telah mengetahui kota Jogja yang sebenarnya. Namun alangkah sialnya, jika mereka baru pertama kali datang ke Jogja dan langsung disuguhi kelakuan tidak menyenangkan tersebut. Ya, kesan pertama yang didapatkan adalah Jogja itu brutal, tidak cocoklah bila dijadikan kota wisata. Bisa jadi setelah mereka pulang ke asalnya, yang diberitahukan ke keluarganya, kerabatnya tentang Jogja bukanlah hal yang baik-baik, melainkan peristiwa yang tak baik tadi. Jogja jadi dicap sebagai kota yang tidak nyaman karena satu peristiwa itu. Saya kemudian teringat kisah setahun yang lalu, ketika kasus premanisme Jogja marak diberitakan di media televise. Imbasnya, saya sebagai perantau di Jogja, selalu ditanyakan oleh orang tua tentang Jogja, bagaimana perkembangannya diberi peringatan janga keluar-keluar malam. Kedua orang tua saya menganggap bahwa Jogja tidak aman lagi, padahal menurut saya, yang tinggal disini, Jogja tetaplah nyaman seperti biasanya. Tidak terganggu dengan berita-berita premanisme tersebut.

 Dan Jogja juga terkenal dengan tagline-nya yang mengatakan ’Jogja Berhati Nyaman.” Dikarenakan peristiwa semacam ini diplesetkan menjadi ”Jogja berhenti nyaman.”
                Sangat disesalkan memang bahwa hal sekecil ini dapat merusak citra Jogja. Padahal untuk membangun sebuah citra yang baik bukanlah hal yang mudah, perlu usaha keras dan komitmen dari semua pihak.  Biarlah Jogja tetap berhati nyaman. Nyaman bagi kami, warga asli dan nyaman bagimu, para pendatang.
Sebagai penutup, saya mengutip sebuah pepatah yang mengatakan, “Jangan Gara-gara Nila setitik, Rusak Susu Sebelanga.”

Matur Nuhun,

Jogja tetap Istimewa