17
Agustus 1945 merupakan tanggal paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Ya,
hari itulah tanggal dimana Indonesia merdeka. Sejak saat itulah Indonesia
berhak meraih kendali penuh atas seluruh wilayah bagian negaranya. Sebelumnya,
Indonesia telah bertahun-tahun dijajah oleh bangsa asing. Rakyat disiksa dan
hidup sangat menderita akibat perilaku pera bangsa penjajah tersebut. Penjajahan
di Indonesia dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis ke pelabuhan-pelabuhan
di pantai utara Jawa, setelah itu disusul dengan kedatangan bangsa Spanyol
tahun 1521 di Tidore. Babak baru penjajahan Indonesia dimulai dengan kedatangan
Belanda tahun 1619, pada saat itu VOC terbentuk dan menjadi sumber penderitaan
bagi rakyat Indonesia. kemudian diakhiri dengan datangnya Jepan tahun 1942.
“Perjuanganku
melawan penjajah lebih mudah, tidak seperti kalian nanti. Perjuangan kalian
akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri.”
Inilah pesan yang disampaikan Ir. Soekarno kepada
rakyat Indonesia. Saat ini, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Memang
penjajahan seperti puluhan tahun yang lalu tidak terjadi lagi. Namun, Indonesia
masih memiliki beberapa masalah krusial yang bila tidak ditangani dan
diselesaikan bisa memberi efek bola salju.
Intoleransi
SARA.
Beberapa waktu lalu, media Indonesia gencar-gencarnya
menghadirkan masalah intoleransi dalam kehidupan beragama. Media menjadikan hal
ini sebagai headline. Pagi, siang,
sore, hingga malam berbagai dialog interaktif dengan narasumber dari berbagai
pihak dihadirkan silih berganti membahas permasalahan tersebut.
Sebenarnya masalah ini tidaklah perlu terjadi. Bila
pemahaman konsep “Bhineka Tunggal Ika” yang merupakan semboyan Indonesia
ditanamkan kedalam hati setiap masyarakat Indonesia. Tak bisa dipungkiri bahwa
Indonesia dibangun diatas perbedaan-perbedaan tersebut. Banyak Negara
berbondong-bondong meneliti kehidupan beragama di Indonesia. Ya, mereka iri
sekaligus bingung dan heran bagaimana mungkin sesuatu yang berbeda bisa
berjalan bersama? Berjalan tanpa ada gangguan. Hal ini tentu saja menjadi
kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Sebaiknya, Indonesia itu menyadari anugrah
dalam perbedaan ini. Perbedaan ini menjadikan bangsa ini solid, tak
terpecahkan.
Dengan semboyan
“Bhineka Tunggal Ika” yang melekat di hati masing-masing, masyarakat sebaiknya
menyadari perbedaan yang terjadi merupakan sebuah anugrah yang diberikan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia dibangun diatas
perbedaan-perbedaan tersebut. Banyak Negara berbondong-bondong meneliti
kehidupan beragama di Indonesia. ya, mereka iri dan heran bagaimana bisa
sesuatu yang berbeda bisa berjalan bersama? Berjalan tanpa ada gangguan. Hal
ini tentu saja menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Penanaman nilai-nilai
toleransi sebaiknya ditanamkan sejak dini, di bangku-bangku sekolah. Sehingga
ketika ada permasalahan dapat diselesaikan dengan bijak, tidak hanya dari satu
sisi saja.
Korupsi.
Menurut Kemdagri, 309 kepala daerah terlibat kasus 309
kepala daerah terlibat proses hukum terkait kasus korupsi, baik berstatus
tersangka, terdakwa maupun terpidana. Di lain sisi, Sekertaris Jendral Transparency International Indonesia (TII),
Dadang Sasongko mengatakan bahwa sektor kepolisian, kejaksaan, peradilan, dan
bisnis menjadi sektor yang paling banyak dipersepsikan sebagai ladang korupsi. Ironi memang, pihak
yang seharusnya menjadi penegak keadilan malah menjadi lahan subur bagi
perkembangbiakan korupsi. Hal ini diperparah dengan ditangkapnya Aqil Muchtar,
ketua Mahkamah Konstitusi yang dijadikan tersangka kasus praktik politik transaksional dalam proses
pemutusan sengketa pilkada Bupati Gunung Mas.
Korupsi merupakan
bahaya laten bagi kehidupan bangsa Indonesia. Efek yang timbul akibat korupsi
sangat parah. Biaya kesejahteraan masyarakat yang dikumpulkan dari pajak-pajak
masyarakat malah digunakan untuk kepentingan mereka-mereka yang serakah akan
harta-harta duniawi. Kekayaan yang melimpah ternyata tidak memberikan efek
apa-apa bagi kemajuan dan kemandirian bangsa. Konon, pendapatan Negara bila
dibagikan kepada rakyat, seluruh rakyat akan mendapat Rp 20 juta perbulan. Bisa
dibayangkan efek positif dari pendapatan tersebut. Tidak ada lagi yang namnya
busung lapar, pemadaman listrik bergilir, putusnya jalan yang berakibat
terhambatnya pengiriman kekayaan alam baik dari maupun ke daerah. Selain itu,
pendidikan yang merupakan salah satu cita-cita Negara sesuai Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 tidak lah hanya sekadar 9 tahun saja. Dengan
pendapatan tersebut, putra-putri Indonesia bisa memperoleh tingkat pendidikan
sampai tingkat universitas. Dan pulang ke daerah untuk mengembangkan daerahnya
masing-masing.
Namun hal itu tidak
akan terjadi akibat keserakahan para pejabat yang melahap habis semua potensi
kekayaan Indonesia. Potensi pendapatan Indonesia sebesar Rp 7.200 triliun
hilang, raup ditelan para koruptor sampah tersebut. Teringat akan suatu kalimat
dari Mahatma Gandhi, pemimpin spiritual India, yang mengatakan,“Bumi ini cukup
untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan
segelintir kecil manusia yang serakah,” Mereka, para koruptor inilah yahang
disebut dengan segelintik kecil manusia yang serakah, yang tidak mengenal kata
puas.
Perusakan
Lingkungan
Kurangnya kesadaran terhadap pelestarian lingkungan
merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Sampah merupakan perusak
lingkungan paling kecil. Banyak masyarakat tidak kunjung sadar akan bahaya
sampah yang dibuang ke kali/sungai. Ketidakpedulian ini semakin menjadi dengan
kurangnya peran pemerintah dalam sosialisasi penanganan sampah kepada
masyarakat. Masyarakat menjadi sadar ketika bencana datang. Banjir yang datang
menggenangi menyebabkan kerugian material bagi masyarakat, mulai dari harta
sampai korban jiwa akibat terseret arus banjir.
Selain itu, perusakan hutan merupakan hal yang paling
disayangkan untuk terjadi. Dalam kurun 12 tahun terakhir, bumi telah kehilangan
2,3 juta km2 wilayah hutannya. Diperperah dengan kerusakan hutan di Indonesia meningkat lebih
dari dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah penggundulan hutan per tahun
yang mencapai 20.000 kilometer pada 2011 dan 2012. Kerusakaan ini terhadi karena lebih
memerhatikan kepentingan ekonomi dibanding kepentingan ekologi. Sebagai contoh,
pembabatan hutan untuk pembukaan lahan baru guna ditanami sawit. Tak bisa
dipungkiri memang berapa besar keuntungan yang diperoleh atas hasil panen sawit
tersebut. Namun, bila dilihat dalam jangka panjang, kerugian justru lebih
besar. Dampak yang paling terlihat adalah adanya potensi bencana. Banjir disaat
musim hujan dan kekeringan saat musim kemarai menyebabkan penderitaan bagi
masyarakat kecil.
Alangkah baiknya bila
kita menyadari bahwa bumi ini diciptakan untuk kita titipkan ke anak cucu
dengan kondisi yang baik. Kenapa malah menitipkan bencana bagi anak cucu.
Sebaiknya pemerintah juga memperketat aturan mengenai hak pengelolaan hutan
untuk menciptakan kondisi yang baik di masa kini maupun masa mendatang.
Esai ini disertakan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Karya Salemba EmpatA.A